Pertanyaan: Menjadi Pegawai Dilakukan Masyarakat Di Daerah. Artikel Trending 🔥. Lowongan Kerja Bade Wangi Grosir Pekanbaru Bulan Mei 2022 MenjadiPegawai Dilakukan Masyarakat Di Daerah Untuk Menambahkan Slide Baru Dapat Dilakukan Melalui Menu Bar Menjadi Pegawai Dilakukan Masyarakat Di Daerah Apa Saja Kegiatan Yang Dapat Aku Lakukan Secara Mandiri Artikel Trending 🔥 Surveilapangan dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada masyarakat setempat (kelurahan Pinangsia, Roa Malaka, Penjaringan) dan pegawai Pemda di Kawasan Kota Tua Jakarta. Dịch Vụ Hỗ Trợ Vay Tiền Nhanh 1s. Seleksi terbuka adalah sistem baru sejak beberapa tahun terakhir diperkenalkan dan menjadi prosedur wajib bagi instansi mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Seleksi terbuka untuk berbagai jenis jabatan pimpinan tinggi juga merupakan bagian dari pelaksanaan reformasi birokrasi yang sudah berjalan lebih dari satu dekade terakhir. Sebagaimana Pasal 108 Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 menyatakan bahwa pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya pada kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga nonstruktural, dan instansi daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan pegawai negeri sipil PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Seleksi terbuka bukanlah hal baru. Hal yang sama sudah dipraktikkan di banyak negara dengan istilah yang berbeda-beda. Seleksi terbuka adalah salah satu cara agar proses pengisian jabatan dilakukan dengan lebih transparan, adil, dan mengeliminasi potensi praktik curang seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme serta sejauh mungkin menghindari intervensi politik sebagaimana yang lazim terjadi. Namun, pada praktiknya proses pengisian jabatan melalui seleksi terbuka tidak lepas dari permasalahan dan kendala. Proses seleksi terbuka juga tidak pernah lepas dari pandangan kritis masyarakat yang menganggap bahwa seleksi terbuka masih belum sepenuhnya steril dari perbuatan curang dan hanya menghambur-hamburkan uang karena biaya yang mahal. Sebagai salah satu orang yang pernah terlibat dalam proses seleksi terbuka, saya ingin mengurai persoalan seleksi terbuka sebagai berikut. Pertama, di mana pun yang namanya seleksi JPT merupakan isu seksi bagi banyak pihak. Birokrasi yang belum sepenuhnya lepas dari entitas politik sangat potensial menjadi ajang intervensi. Aroma intervensi politik di daerah tentu lebih terasa karena lebih jauh dari jangkauan pengawasan pihak yang berwenang. Kedua, beberapa regulasi yang multi interpretasi, sehingga sering kali memunculkan spekulasi dan potensi distorsi dalam pelaksanaannya. Misalnya ketentuan standar kompetensi jabatan yang berpatokan pada Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 409 Tahun 2019. Minimnya sosialisasi dan keterbatasan sumberdaya manusia di daerah yang terlibat sebagai panitia seleksi dan jajaran pengampu kebijakan kepegawaian membuat banyak ketentuan begitu sulit dilaksanakan. Misalnya, bagaimana membuat standar kompetensi jabatan bisa terukur measurable secara akurat? Bagaimana membuat peranti tool agar minim bias terhadap standar kompetensi teknis sesuai aturan? Sehingga, meski sudah dilaksanakan dengan prudent dan melalui tahapan konsultasi komprehensif dengan instansi pengawas, yakni KASN Komisi Aparatur Sipil Negara, masih terbuka celah untuk dipersoalkan oleh masyarakat terutama entitas politik di daerah. Ketiga, budaya “balas budi dan balas dendam” yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan demokrasi kita pascareformasi ini, yang kemudian menjalar hingga ke daerah-daerah, membuat kesempatan banyak pegawai untuk bersaing secara sehat menjadi sulit. Hasil seleksi berupa tiga kandidat terbaik setelah berbagai tahapan dilalui kemudian masuk dalam zona yang sepenuhnya menjadi prerogatif pejabat pembina kepegawaian. Kemudian, tidak mesti kandidat terbaik harus terpilih. Begitulah regulasi mengatur, the best person tidak hanya ditentukan dari hasil seleksi. Melainkan juga dipadu dengan penilaian subjektif pengguna yang bahkan mengakomodasi pertimbangan keseimbangan politik. Faktor relasi dan kedekatan akhirnya menjadi faktor yang menentukan. Keempat, berbagai ketentuan yang menjadi payung hukum pelaksanaan seleksi sering kali tidak dapat diterapkan secara tepat. Misalnya ketentuan “paling lama mempunyai pengalaman terkait dengan jabatan yang akan diduduki secara kumulatif paling singkat 5 tahun”. Ketentuan ini selalu membuka perdebatan yang muncul dari perbedaan penafsiran. Sehingga meskipun sudah melalui tahapan konsultasi ke instansi berwenang terkadang masih sering dipersoalkan. Kelima, terdapat peraturan yang tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan secara konsisten. Menurut pengamatan saya ada beberapa ketentuan perundang-undangan yang kemudian disimpangi hanya dengan surat edaran. Misalnya munculnya Surat Edaran Menteri PANRB Nomor 52 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pengisian JPT secara Terbuka dan Kompetitif di Lingkungan Instansi Pemerintah dalam Kondisi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Coronavirus Disease 2019 Covid-19. Surat edaran tersebut memang memberikan kemudahan dan simplifikasi terhadap pelaksanaan seleksi terbuka, namun sekaligus membuat prosedur pelaksanaan rentan disoal secara hukum karena dianggap distortif dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Keenam, tidak ada mekanisme penjaminan mutu yang credible untuk memastikan seluruh tahapan proses dan prosedur seleksi terbuka itu berjalan dengan jujur. Tidak ada standar baku yang bisa digunakan untuk mengakreditasi seluruh proses dan hasil-hasilnya. Panitia seleksi bekerja tanpa parameter yang baku sehingga kualitas pelaksanaan seleksi di masing-masing daerah tidak teruji kualitas dan objektivitasnya. Kita akan kesulitan mencari best practice yang dapat digunakan sebagai rujukan. Seleksi terbuka, adalah upaya cerdas untuk meningkatkan kinerja pemerintahan melalui penempatan orang-orang tepat di berbagai bidang jabatan, namun dalam kurun waktu perjalanannya tidak pernah lepas dari persoalan. Beban instansi pengawas yaitu KASN yang sangat overload karena harus mengawasi proses seleksi di seluruh Indonesia membuat fungsi pengawasan terasa berjalan kurang efektif. Padahal standardisasi dan pengawasan diperlukan untuk memastikan agar seluruh pejabat pimpinan tinggi pada setiap institusi pemerintahan yang ada di Indonesia memiliki kualitas yang mumpuni. Bukankah JPT di daerah yang satu dengan daerah yang lain relatif sama tanggung jawab dan beban kerjanya? Risiko yang harus mereka hadapi juga kurang lebih sama. Dan tentu saja hak-hak kepegawaiannya pun pasti sama. Sehingga tentu tidak wajar apabila ada ketimpangan dari sisi kualitas antara daerah satu dengan daerah lain. Evaluasi dan perbaikan menyeluruh terhadap pelaksanaan seleksi terbuka tentu harus terus dilakukan secara serius dan berkesinambungan, sehingga dapat menjamin seluruh prosedur dan hasilnya lebih dapat dipertanggungjawabkan serta menghasilkan pejabat yang benar-benar berkualitas. * Penulis adalah Pj Kepala Bidang Pengembangan SDM pada Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia BKPSDM Kabupaten Bondowoso. Seleksi terbuka adalah sistem baru sejak beberapa tahun terakhir diperkenalkan dan menjadi prosedur wajib bagi instansi mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Seleksi terbuka untuk berbagai jenis jabatan pimpinan tinggi juga merupakan bagian dari pelaksanaan reformasi birokrasi yang sudah berjalan lebih dari satu dekade terakhir. Sebagaimana Pasal 108 Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 menyatakan bahwa pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya pada kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga nonstruktural, dan instansi daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan pegawai negeri sipil PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Seleksi terbuka bukanlah hal baru. Hal yang sama sudah dipraktikkan di banyak negara dengan istilah yang berbeda-beda. Seleksi terbuka adalah salah satu cara agar proses pengisian jabatan dilakukan dengan lebih transparan, adil, dan mengeliminasi potensi praktik curang seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme serta sejauh mungkin menghindari intervensi politik sebagaimana yang lazim terjadi. Namun, pada praktiknya proses pengisian jabatan melalui seleksi terbuka tidak lepas dari permasalahan dan kendala. Proses seleksi terbuka juga tidak pernah lepas dari pandangan kritis masyarakat yang menganggap bahwa seleksi terbuka masih belum sepenuhnya steril dari perbuatan curang dan hanya menghambur-hamburkan uang karena biaya yang mahal. Sebagai salah satu orang yang pernah terlibat dalam proses seleksi terbuka, saya ingin mengurai persoalan seleksi terbuka sebagai berikut. Pertama, di mana pun yang namanya seleksi JPT merupakan isu seksi bagi banyak pihak. Birokrasi yang belum sepenuhnya lepas dari entitas politik sangat potensial menjadi ajang intervensi. Aroma intervensi politik di daerah tentu lebih terasa karena lebih jauh dari jangkauan pengawasan pihak yang berwenang. Kedua, beberapa regulasi yang multi interpretasi, sehingga sering kali memunculkan spekulasi dan potensi distorsi dalam pelaksanaannya. Misalnya ketentuan standar kompetensi jabatan yang berpatokan pada Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 409 Tahun 2019. Minimnya sosialisasi dan keterbatasan sumberdaya manusia di daerah yang terlibat sebagai panitia seleksi dan jajaran pengampu kebijakan kepegawaian membuat banyak ketentuan begitu sulit dilaksanakan. Misalnya, bagaimana membuat standar kompetensi jabatan bisa terukur measurable secara akurat? Bagaimana membuat peranti tool agar minim bias terhadap standar kompetensi teknis sesuai aturan? Sehingga, meski sudah dilaksanakan dengan prudent dan melalui tahapan konsultasi komprehensif dengan instansi pengawas, yakni KASN Komisi Aparatur Sipil Negara, masih terbuka celah untuk dipersoalkan oleh masyarakat terutama entitas politik di daerah. Ketiga, budaya “balas budi dan balas dendam” yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan demokrasi kita pascareformasi ini, yang kemudian menjalar hingga ke daerah-daerah, membuat kesempatan banyak pegawai untuk bersaing secara sehat menjadi sulit. Hasil seleksi berupa tiga kandidat terbaik setelah berbagai tahapan dilalui kemudian masuk dalam zona yang sepenuhnya menjadi prerogatif pejabat pembina kepegawaian. Kemudian, tidak mesti kandidat terbaik harus terpilih. Begitulah regulasi mengatur, the best person tidak hanya ditentukan dari hasil seleksi. Melainkan juga dipadu dengan penilaian subjektif pengguna yang bahkan mengakomodasi pertimbangan keseimbangan politik. Faktor relasi dan kedekatan akhirnya menjadi faktor yang menentukan. Keempat, berbagai ketentuan yang menjadi payung hukum pelaksanaan seleksi sering kali tidak dapat diterapkan secara tepat. Misalnya ketentuan “paling lama mempunyai pengalaman terkait dengan jabatan yang akan diduduki secara kumulatif paling singkat 5 tahun”. Ketentuan ini selalu membuka perdebatan yang muncul dari perbedaan penafsiran. Sehingga meskipun sudah melalui tahapan konsultasi ke instansi berwenang terkadang masih sering dipersoalkan. Kelima, terdapat peraturan yang tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan secara konsisten. Menurut pengamatan saya ada beberapa ketentuan perundang-undangan yang kemudian disimpangi hanya dengan surat edaran. Misalnya munculnya Surat Edaran Menteri PANRB Nomor 52 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pengisian JPT secara Terbuka dan Kompetitif di Lingkungan Instansi Pemerintah dalam Kondisi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Coronavirus Disease 2019 Covid-19. Surat edaran tersebut memang memberikan kemudahan dan simplifikasi terhadap pelaksanaan seleksi terbuka, namun sekaligus membuat prosedur pelaksanaan rentan disoal secara hukum karena dianggap distortif dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Keenam, tidak ada mekanisme penjaminan mutu yang credible untuk memastikan seluruh tahapan proses dan prosedur seleksi terbuka itu berjalan dengan jujur. Tidak ada standar baku yang bisa digunakan untuk mengakreditasi seluruh proses dan hasil-hasilnya. Panitia seleksi bekerja tanpa parameter yang baku sehingga kualitas pelaksanaan seleksi di masing-masing daerah tidak teruji kualitas dan objektivitasnya. Kita akan kesulitan mencari best practice yang dapat digunakan sebagai rujukan. Seleksi terbuka, adalah upaya cerdas untuk meningkatkan kinerja pemerintahan melalui penempatan orang-orang tepat di berbagai bidang jabatan, namun dalam kurun waktu perjalanannya tidak pernah lepas dari persoalan. Beban instansi pengawas yaitu KASN yang sangat overload karena harus mengawasi proses seleksi di seluruh Indonesia membuat fungsi pengawasan terasa berjalan kurang efektif. Padahal standardisasi dan pengawasan diperlukan untuk memastikan agar seluruh pejabat pimpinan tinggi pada setiap institusi pemerintahan yang ada di Indonesia memiliki kualitas yang mumpuni. Bukankah JPT di daerah yang satu dengan daerah yang lain relatif sama tanggung jawab dan beban kerjanya? Risiko yang harus mereka hadapi juga kurang lebih sama. Dan tentu saja hak-hak kepegawaiannya pun pasti sama. Sehingga tentu tidak wajar apabila ada ketimpangan dari sisi kualitas antara daerah satu dengan daerah lain. Evaluasi dan perbaikan menyeluruh terhadap pelaksanaan seleksi terbuka tentu harus terus dilakukan secara serius dan berkesinambungan, sehingga dapat menjamin seluruh prosedur dan hasilnya lebih dapat dipertanggungjawabkan serta menghasilkan pejabat yang benar-benar berkualitas. * Penulis adalah Pj Kepala Bidang Pengembangan SDM pada Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia BKPSDM Kabupaten Bondowoso. Seleksi terbuka adalah sistem baru sejak beberapa tahun terakhir diperkenalkan dan menjadi prosedur wajib bagi instansi mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Seleksi terbuka untuk berbagai jenis jabatan pimpinan tinggi juga merupakan bagian dari pelaksanaan reformasi birokrasi yang sudah berjalan lebih dari satu dekade terakhir. Sebagaimana Pasal 108 Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 menyatakan bahwa pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya pada kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga nonstruktural, dan instansi daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan pegawai negeri sipil PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Seleksi terbuka bukanlah hal baru. Hal yang sama sudah dipraktikkan di banyak negara dengan istilah yang berbeda-beda. Seleksi terbuka adalah salah satu cara agar proses pengisian jabatan dilakukan dengan lebih transparan, adil, dan mengeliminasi potensi praktik curang seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme serta sejauh mungkin menghindari intervensi politik sebagaimana yang lazim terjadi. Namun, pada praktiknya proses pengisian jabatan melalui seleksi terbuka tidak lepas dari permasalahan dan kendala. Proses seleksi terbuka juga tidak pernah lepas dari pandangan kritis masyarakat yang menganggap bahwa seleksi terbuka masih belum sepenuhnya steril dari perbuatan curang dan hanya menghambur-hamburkan uang karena biaya yang mahal. Sebagai salah satu orang yang pernah terlibat dalam proses seleksi terbuka, saya ingin mengurai persoalan seleksi terbuka sebagai berikut. Pertama, di mana pun yang namanya seleksi JPT merupakan isu seksi bagi banyak pihak. Birokrasi yang belum sepenuhnya lepas dari entitas politik sangat potensial menjadi ajang intervensi. Aroma intervensi politik di daerah tentu lebih terasa karena lebih jauh dari jangkauan pengawasan pihak yang berwenang. Kedua, beberapa regulasi yang multi interpretasi, sehingga sering kali memunculkan spekulasi dan potensi distorsi dalam pelaksanaannya. Misalnya ketentuan standar kompetensi jabatan yang berpatokan pada Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 409 Tahun 2019. Minimnya sosialisasi dan keterbatasan sumberdaya manusia di daerah yang terlibat sebagai panitia seleksi dan jajaran pengampu kebijakan kepegawaian membuat banyak ketentuan begitu sulit dilaksanakan. Misalnya, bagaimana membuat standar kompetensi jabatan bisa terukur measurable secara akurat? Bagaimana membuat peranti tool agar minim bias terhadap standar kompetensi teknis sesuai aturan? Sehingga, meski sudah dilaksanakan dengan prudent dan melalui tahapan konsultasi komprehensif dengan instansi pengawas, yakni KASN Komisi Aparatur Sipil Negara, masih terbuka celah untuk dipersoalkan oleh masyarakat terutama entitas politik di daerah. Ketiga, budaya “balas budi dan balas dendam” yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan demokrasi kita pascareformasi ini, yang kemudian menjalar hingga ke daerah-daerah, membuat kesempatan banyak pegawai untuk bersaing secara sehat menjadi sulit. Hasil seleksi berupa tiga kandidat terbaik setelah berbagai tahapan dilalui kemudian masuk dalam zona yang sepenuhnya menjadi prerogatif pejabat pembina kepegawaian. Kemudian, tidak mesti kandidat terbaik harus terpilih. Begitulah regulasi mengatur, the best person tidak hanya ditentukan dari hasil seleksi. Melainkan juga dipadu dengan penilaian subjektif pengguna yang bahkan mengakomodasi pertimbangan keseimbangan politik. Faktor relasi dan kedekatan akhirnya menjadi faktor yang menentukan. Keempat, berbagai ketentuan yang menjadi payung hukum pelaksanaan seleksi sering kali tidak dapat diterapkan secara tepat. Misalnya ketentuan “paling lama mempunyai pengalaman terkait dengan jabatan yang akan diduduki secara kumulatif paling singkat 5 tahun”. Ketentuan ini selalu membuka perdebatan yang muncul dari perbedaan penafsiran. Sehingga meskipun sudah melalui tahapan konsultasi ke instansi berwenang terkadang masih sering dipersoalkan. Kelima, terdapat peraturan yang tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan secara konsisten. Menurut pengamatan saya ada beberapa ketentuan perundang-undangan yang kemudian disimpangi hanya dengan surat edaran. Misalnya munculnya Surat Edaran Menteri PANRB Nomor 52 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pengisian JPT secara Terbuka dan Kompetitif di Lingkungan Instansi Pemerintah dalam Kondisi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Coronavirus Disease 2019 Covid-19. Surat edaran tersebut memang memberikan kemudahan dan simplifikasi terhadap pelaksanaan seleksi terbuka, namun sekaligus membuat prosedur pelaksanaan rentan disoal secara hukum karena dianggap distortif dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Keenam, tidak ada mekanisme penjaminan mutu yang credible untuk memastikan seluruh tahapan proses dan prosedur seleksi terbuka itu berjalan dengan jujur. Tidak ada standar baku yang bisa digunakan untuk mengakreditasi seluruh proses dan hasil-hasilnya. Panitia seleksi bekerja tanpa parameter yang baku sehingga kualitas pelaksanaan seleksi di masing-masing daerah tidak teruji kualitas dan objektivitasnya. Kita akan kesulitan mencari best practice yang dapat digunakan sebagai rujukan. Seleksi terbuka, adalah upaya cerdas untuk meningkatkan kinerja pemerintahan melalui penempatan orang-orang tepat di berbagai bidang jabatan, namun dalam kurun waktu perjalanannya tidak pernah lepas dari persoalan. Beban instansi pengawas yaitu KASN yang sangat overload karena harus mengawasi proses seleksi di seluruh Indonesia membuat fungsi pengawasan terasa berjalan kurang efektif. Padahal standardisasi dan pengawasan diperlukan untuk memastikan agar seluruh pejabat pimpinan tinggi pada setiap institusi pemerintahan yang ada di Indonesia memiliki kualitas yang mumpuni. Bukankah JPT di daerah yang satu dengan daerah yang lain relatif sama tanggung jawab dan beban kerjanya? Risiko yang harus mereka hadapi juga kurang lebih sama. Dan tentu saja hak-hak kepegawaiannya pun pasti sama. Sehingga tentu tidak wajar apabila ada ketimpangan dari sisi kualitas antara daerah satu dengan daerah lain. Evaluasi dan perbaikan menyeluruh terhadap pelaksanaan seleksi terbuka tentu harus terus dilakukan secara serius dan berkesinambungan, sehingga dapat menjamin seluruh prosedur dan hasilnya lebih dapat dipertanggungjawabkan serta menghasilkan pejabat yang benar-benar berkualitas. * Penulis adalah Pj Kepala Bidang Pengembangan SDM pada Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia BKPSDM Kabupaten Bondowoso. Mayoritas masyarakat maluku pd saat zaman Belanda yaitu sbgai petani petani rempah2,,,nambah dkit Bekerja sebagai petani,berladang BerandaKlinikKenegaraanASN Wajib Tinggal di...KenegaraanASN Wajib Tinggal di...KenegaraanRabu, 17 Februari 2021Demi meningkatkan ekonomi masyarakat, pemerintah daerah mewajibkan semua ASN untuk tinggal di kabupaten di mana ia ditugaskan. Apabila tidak bersedia, maka ASN akan diberi hukuman. Apakah ada aturan terkait domisili seorang ASN?Pegawai ASN memang wajib bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan hal ini juga menjadi syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melamar sebagai PNS. Tapi apakah ketentuan ini sekaligus berarti pegawai ASN wajib bertempat tinggal di daerah penempatannya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini. ASN Wajib Bersedia Ditempatkan di Seluruh IndonesiaAparatur Sipil Negara “ASN” adalah profesi bagi pegawai negeri sipil “PNS” dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja “PPPK” yang bekerja pada instansi pemerintah.[1]Pada dasarnya, pegawai ASN wajib bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.[2] Hal ini juga merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melamar jadi PNS.[3]Dikutip dari Upaya yang Bisa Dilakukan Jika PNS Keberatan Dimutasi, kesediaan untuk ditempatkan di mana saja menjadi salah satu konsekuensi dan sebagai tanda komitmen menjadi Wajib Tinggal di Daerah Penempatan?Akan tetapi menurut hemat kami, kesediaan pegawai ASN untuk ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia sebagaimana diatur di atas tidak serta merta mewajibkan pegawai ASN yang bersangkutan untuk tinggal di daerah penempatannya, selama ia dapat tetap melaksanakan tugas dan hadir di tempat kerja sesuai dengan jam menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya tidak ada peraturan tingkat pusat yang mengikat pegawai ASN untuk bertempat tinggal di daerah demikian, tidak menutup kemungkinan ada kewajiban yang ditetapkan khusus di instansi pegawai ASN yang ini mengingat pegawai ASN wajib menaati disiplin pegawai. Khusus PNS wajib menaati segala ketentuan peraturan perundang-undangan dan menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.[4] Bagi yang tidak menaati, PNS akan dijatuhi hukuman disiplin.[5]Adapun untuk PPPK wajib mematuhi disiplin PPPK yang ditetapkan instansi yang mempekerjakannya dan yang melanggar akan dijatuhi hukuman disiplin sesuai ketentuan untuk disiplin PNS.[6]Perlu Anda pahami, di masa pandemi COVID-19 pemerintah pusat telah menerbitkan kebijakan sistem kerja ASN melalui Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 58 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Tatanan Normal Baru dan Pembina Kepegawaian pada kementerian/lembaga/daerah mengatur jumlah pegawai yang dapat melaksanakan tugas kedinasan di kantor maupun di rumah/tempat tinggal berdasarkan data zonasi risiko yang dikeluarkan oleh Satuan Tugas Penanganan COVID-19 yaitu[7]Bagi instansi pemerintah yang berada pada zona kabupaten/kota berkategori tidak terdampak/tidak ada kasus, diatur jumlah pegawai yang bertugas kedinasan di kantor work from office paling banyak 100%.Bagi instansi pemerintah yang berada pada zona kabupaten/kota berkategori risiko rendah, diatur jumlah pegawai yang bertugas kedinasan di kantor work from office paling banyak 75% pada unit kerja instansi yang instansi pemerintah yang berada pada zona kabupaten/kota berkategori risiko sedang, diatur jumlah pegawai yang bertugas kedinasan di kantor work from office paling banyak 50% pada unit kerja instansi yang instansi pemerintah yang berada pada zona kabupaten/kota berkategori risiko tinggi, diatur jumlah pegawai yang bertugas kedinasan di kantor work from office paling banyak 25% pada unit kerja instansi yang informasi tambahan, beberapa instansi pemerintahan daerah sebelumnya telah menginstruksikan pegawai ASN untuk pelaksanaan ufas kedinasan di rumah/tempat tinggal atau Work from Home “WFH” saat pandemi COVID-19 di antaranyaKabupaten Grobogan melalui Surat Edaran Bupati Grobogan Nomor Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease COVID-19 di Lingkungan Instansi Pemerintah Kabupaten Grobogan pada tanggal 19 Maret 2020 sampai dengan 31 Maret 2020 dan akan dievaluasi lebih lanjut sesuai kebutuhan; danKabupaten Sumedang melalui Peraturan Bupati Sumedang Nomor 53 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Pelaksanaan Adaptasi Kebiasaan itu, kami menyarankan untuk mengecek kembali peraturan instansi tempat Anda Keterangan Pindah Memang tidak jarang pegawai ASN ditempatkan di lokasi yang jauh dari rumah, sehingga ia harus pindah ke lokasi yang dekat dengan daerah ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan “UU Adminduk” mewajibkan setiap penduduk warga negara Indonesia yang pindah domisili di alamat baru untuk waktu lebih dari 1 tahun atau berdasarkan kebutuhan yang bersangkutan untuk waktu kurang dari 1 tahun untuk melapor ke instansi pelaksana di daerah asal untuk mendapatkan Surat Keterangan Pindah.[8]Nantinya berdasarkan Surat Keterangan Pindah tersebut, penduduk yang bersangkutan wajib melapor kepada instansi pelaksana di daerah tujuan untuk penerbitan Surat Keterangan Pindah Datang yang akan digunakan sebagai dasar perubahan atau penerbitan Kartu Keluarga “KK” dan Kartu Tanda Penduduk “KTP”.[9]Dengan demikian, pegawai ASN yang pindah ke daerah penempatannya wajib melaporkan kepindahan ke instansi pelaksana daerah asal dan daerah tujuan untuk memperoleh Surat Keterangan Pindah Datang sebagai dasar perubahan KK dan informasi hukum yang ada di Klinik disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra jawaban dari kami, semoga HukumUndang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara;Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil;Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil;Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja;Peraturan Bupati Sumedang Nomor 53 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara Dalam Pelaksanaan Adaptasi Kebiasaan Baru;Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 58 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Tatanan Normal Baru sebagaimana diubah dengan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 67 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 58 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Tatanan Normal Baru;Surat Edaran Bupati Grobogan Nomor Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease COVID-19 di Lingkungan Instansi Pemerintah Kabupaten Grobogan.[2] Pasal 23 huruf h UU ASN[5] Pasal 5 PP 53/2010[8] Pasal 15 UU Adminduk[9] Pasal 15 ayat 3 dan 4 UU AdmindukTags

menjadi pegawai dilakukan masyarakat di daerah